Plester

product 1

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Quisque nec dictum tortor.

Multimedia

product 1

Proin eleifend quam eu purus aliquet scelerisque. Sed non nibh a urna tristique vestibulum.

Customizations

product 1

Morbi suscipit, nisl eget porttitor hendrerit, arcu sapien cursus enim, id luctus felis metus urna.

Bagian 3

“Echa, kamu sedang apa?”, Pak Takari udah negur Echa duluan, jadinya Echa cuma bisa ngengir dan ngluarin jurus andalannya, paku bumi, alias berdiri anteng di tempat. Syukurin. Dia jadi gak bisa noleh lagi. Soalnya Pak Takari sekarang merhatiin dia terus, biar Echa gak lagi tengak tengok gak jelas kayak tadi. Keliatan gak sopan.
“Baiklah anak-anak sekalian, para siswa yang ada di depan kalian ini adalah para anggota OSIS baru”. Pak kepala sekolah menutup mapnya –yang beliau gunakan sebagai data untuk memanggil para siswa “tertuduh”- dan menyerahkannya kepada Pak Takari. “Para staf guru akan melakukan rapat untuk menentukan susunan keanggotaan OSIS, sehingga diharapkan murid-murid belajar sendiri dengan tenang di kelas masing-masing pada jam pelajaran 1 dan 2, Susunan anggota OSIS akan diumumkan melalui radio sekolah pada saat pergantian jam pelajaran ke-3”.
Echa setengah lega, ulangan kimia dipending. Jadinya kan Echa bisa belajar lebih lama lagi buat ulangan kimia nanti. 2 hari lagi baru ada jadwal pelajaran kimia. Lumayan bisa nyicil belajarnya, biar gak bingung kayak hari ini. Soalnya kalo sindrom bingung akutnya Echa lagi kumat pasti penyakit mudah marahnya juga ikutan kumat. Emang makhluk yang satu ini rada-rada ajaib.
Pak Takari membubarkan barisan. Echapun segera kembali ke dalam barisannya semula. Teman-temannya pada nyalamin Echa, bahkan samapai ada yang sungkem. Dikiranya ini acara kawinan kali ya, pake acara sungkem-sungkeman segala. Dalam keadaan seperti ini, Echa Cuma melongo –busyed, daritadi melongo terus, apa gak takut ada laler masuk- cengar-cengir gak jelas sambil garuk-garuk kepala. Kebayang gak gimana jeleknya Echa.
Upacara senin ini diakhiri dengan kejadian heboh yang menegangkan. 2 jam pelajaran kosong ini, Echa dikerubutin teman-temannya yang tiba-tiba berubah jadi fans berat Echa. Ada senengnya, ada sedihnya juga sih. Seneng, karena berasa seperti artis dadakan. Tapi sedih karena teman-temannya pada gak mau berhenti ngerubutin Echa, yang udah mulai kehabisan nafas. Mereka tetep keukeuh gak mau kembali ke bangku masing-masing. Walopun Echa udah ngibas-ngibasin tangan ngusir mereka. Katanya sih mereka pengen ketularan hawa-hawa “OSIS-nya” Echa. Plis deh, pada Gaje semua. Padahal kan Echa pengen bubuk selama jam kosong ini.
Tapi, kalo dipikir-pikir, ke-Gaje-an teman-teman Echa ini timbul bukan karena tanpa alasan. Gimana gak, OSIS SMK PELITA HARAPAN ini merupakan siswa-siswi pilihan yang dipilih dan dinilai langsung oleh Dewan Guru selama setahun. Proses penilaiannya udah dimulai ketika hari pertama di tahun ajaran baru kelas 1 dan ketika menginjak tahun ke-2, diumumkanlah siapa-siapa aja yang menurut Dewan Guru layak menjadi anggota OSIS selanjutnya.
By the way jangan ditanya, aspek yang dinilai banyak banget dan proses penilaiannya pun ribet-bet kayak benang ruwet. Haduh, Echa mah gak mau mikir yang ribet-ribet, ketinggian, otaknya gak sampai, lemot sih. Kembali pada topic, jadi kesimpulannya, OSIS itu orang yang paling berpengaruh -baca : keren- di sekolah, selain para Guru. Mereka bakal jadi pusat perhatian dan trendsetter – ini bahasanya kok lebay banget ya?- juga dapat kepercayaan penuh dari Guru.
Kegiatan apapun di sekolah yang udah dapat ijin dari anggota OSIS bakal 99,99% di setujui sama Dewan Guru. Tapi jadi anggota OSIS itu tanggung jawabnya gede. Apalagi OSIS inti, kalo salah dikit aja ngambil keputusan dan berdampak negatif bagi kehidupan sekolah, kepala taruhannya. Hahahahahaha . . . . . gak dink, cuma bercanda. Gak sampai segitunya kok,. Tapi mang berat baget sanksinya. Makanya, Echa berharap dia cuma jadi pembantu umum atau seksi-seksi yang gak begitu penting di keanggotaan OSIS. Cari amannya aja.
Echa lemes banget, kepalanya ditaruh di meja. Echa lagi mikir, kenapa sih kok mesti dia yang jadi anggota OSIS. Dia kan gak cakep. Lihat! Dari ujung kaki hingga ujung kepala, Cuma 2 lesung di pipinya yang bisa dia banggain. Tingginya Cuma 156 cm dan tanyalah pada siapapun di dunia ini. Mereka pasti akan menjawab kalo Echa pendek untuk ukuran remaja kelas 2 SMK. Rambutnya berwarna coklat kemerah-merahan –ini warna asli dan udah kerap kali Guru menegurnya, mengira Echa mengecat rambutnya itu- panjangnya sebahu, tak terawatt dan selalu dikuncir awut-awutan. Hidungnya gak mancung, tubuhnya gak seksi dan matanya minus 3 berkacamata. Echa benci itu semua. Tapi dia masih tetap bersyukur dan selalu mencoba untuk berfikir positif. Untung dia gak buntung, gak buta, gak pincang dan gak-gak yang lainnya. Intinya keadaannya lebih baik dari keadaan orang-orang yang kurang beruntung di luar sana. Hanya saja, ada 1 bagian tubuh lainnya yang membuat dia benar-benar sulit banget buat bersyukur, yaitu giginya yang “offside” -baca : tonggos- gag tonggos-tonggos amat sih tapi tetep aja itu bikin Echa minder setengah mati. Kalo Echa lagi mingkem rapet sih gak begitu keliatan, tapi kalo dia lagi ketawa ato mangap-mangap, tentu aja keliatan. Echa tertekan kalo teman-temannya ngolok-ngolok dia karena hal itu. Dia sering meratapi nasib dan sering kali berdoa semoga “kelebihan-nya” itu menjadi normal aja. Ternyata kelebihan itu gak selalu bagus ya.
Echa mendengus panjang, “Udah deh, pada minggir semua sana! Kembali ke habitat kalian masing-masing. Aku pengen tidur nih.” Echa mendorong teman-temannya satu per satu supaya jauh-jauh darinya. Serasa gak punya privasi deh.
“Kamu tuh ya, tidur melulu kerjaannya. Seneng dikit gitu kenapa, kan enak bisa jadi anggota OSIS”, kata Suka, memencet hidung Echa. Kayaknya gemes banget ma Echa.
Echa mencibir, “Enak apanya? Tanggung jawabnya gede tau.” Dia mengelus-ngelus hidungnya yang memerah akibat cubitan Suka. Suka mang bener-bener “suka” menyiksa. Echa geleng-geleng kepala.
“Kata-kata Suka is true Echa”, Defry, teman baik Echa yang satunya, membenarkan omongan Suka. Defry mang gandrung banget ma bahsa Inggris. Katanya sih jago, tapi gak tau kenapa bahasa Inggrisnya campur aduk gitu. Bikin orang gak percaya.
“Ah, ikut-ikutan aja kamu itu Def”, Echa melirik Defry. Lirikan Echa mungkin bisa mutusin kolornya Defry saking tajemnya. “Kalian itu cuma mikirin enaknya doang.”
“Tapikan tetep aja masih banyakan enaknya Cha! Coba aja boleh dihibahkan, aku mau kok gantiin kamu Cha”, mata Suka berbinar-binar, kedua tangannya dikalungkan di leher Echa. Sok manja.
“Yee . . . . bukan you aja, ai juga mau. I wanna it”, si Defry ikutan nimbrung.
“Makan sana tuh jabatan OSIS. Silahkan diperebutkan. Aku mau tidur.” Echa menguap, gak peduli dengan kedua temannya itu, yang kayaknya udah bener-bener gemes setengah mati ma dia.
Echa meletakkan tasnya di bangku, tepat di depannya. Dia memeluk tasnya itu dan membuatnya sebagai bantal untuk tidur. Suka dan Defry gentian jitak kepala Echa. Echa cuma melet aja. Terserah deh, batinnya.

*
Bagian 2

“Ya, Sketsa Kaesa, kamu baris di sebelah kanan Zidnil!”, kata Pak Takari, wakil kepala sekolah yang entah sejak kapan sudah berdiri di samping podium dan menata barisan para siswa “tertuduh”.
Kayaknya Echa gak salah dengar, telinganya kan masih sehat, walopun gak 100% sehat lho. Lagian pak kepala sekolah juga gak akan mungkin salah baca deh. Keringat Echa mulai bercucuran. Selain karena panas, juga karena tegang.
Pak kepala sekolah melanjutkan lagi membaca nama-nama siswa yang akan disuruh maju ke depan seperti Echa. Echa acuh saja, dia sibuk bergulat dengan pikirannya. Bingung, takut, tegang dan cemas bercampur menjadi satu. Padahal kan Echa pengen melewati upacara hari ini dengan tenang dan santai, sambil mengingat-ingat rumus kimia yang baru dia pelajari 10 menit yang lalu. Duh gusti, kenapa sih mesti ada pelajaran kimia. Echa men-judgement kimia. Mata pelajaran yang udah jadi musuh bebuyutannya sejak dari zaman nenek moyangnya itu. Wajah Echa jadi melas banget, jadi gak tega deh liatnya. Padahal kan tadi Echa udah mirip gambaran little devil, merah, kecil, bertaring, bertanduk dan berekor. Wah, Echa udah mulai lebay mode on on nih.
“Kenapa Cha?”
Echa menoleh ke arah sumber suara tadi. Ternyata Zidnil, anak yang berdiri di sebelah kanan Echa itu. Zidnil tersenyum pada Echa, nyengir lebih tepatnya.
Echa Cuma mesem, “gak kenapa-kenapa.”
Itu Zidnil, nama lengkapnya Mohammad Zidnil Ma’arif. Panggilan sebenarnya sih I’il, tapi anak –anak lebih sering manggil dia -ini nama keren lho- Kuntil. Dia teman Echa pas masih SMP dulu. Anaknya sih keren abis. Sumpah deh. Semua orang -termasuk Echa sendiri- gak sanksi kalo Kuntil itu keren banget. Dia tinggi semampai, proposional, terus wajahnya rada oriental gitu. Mirip sama orang Jepang. Secara, bokapnya kan masih keturunan Jepang, jadi dia masih kecipratan darah Jepang donk. Selain itu, dia juga stylish dan pinter. Dengar-dengar sih selalu masuk 3 besar di kelasnya. Dia jurusan TKJ (Tekhnik Komunikasi dan Jaringan) kelas B. Satu Jurusan sama Echa, tapi Echa di kelas A.
Semua cewek di sekolah mati – matian ngejar dia. Pokoknya dia tuh cowok most wanted di sekolah. Tapi, Echa rada ilfil ma dia, soalnya gak cuman sekali Echa mergokin I’il membersihkan hidungnya dengan jari jemarinya alias ngupil dalam bahasa kerennnya. Terus upilnya itu ditempelin di sembarang tempat. Kesannya jorok banget, padahal Echa kan paling anti ma yang jorok-jorok.
Echa menoleh kiri dan kanan. Dia bersyukur banget, ternyata banyak juga yang dipanggil. Jadi kan dia merasa gak sendirian. Tapi tetep aja dari tadi benak Echa dipenuhi tanda tanya besar. “Ada apakah ini sebenarnya?”Echa gak berani bertanya. Dia diam aja. Gak pa-pa deh, ntar juga tau.
Echa menengok ke kiri, memperhatikan setiap wajah yang dia temui. Siapa tau ada yang kenal. Di sebelah kirinya tepat, berdiri seorang cewek. Hem, cantik, kulitnya kuning langsat dan dia lebih tinggi dari Echa –Echa jadi merasa minder nih. Echa memperhatikannya, cewek itu menoleh pada Echa –mungkin dia bisa merasakan hawa pembunuh dari tatapan Echa, hehehehe ....- dan mereka bertemu pandang. Woa, ternyata itu Dina, teman Ekskul bahasa Jepang Echa.
“Hehehe... Dina toh, tak kirain siapa”, Echa nyengir kuda, nah lho. Echa jadi salting, ketahuan ngliatin muka orang. Siapa suruh ngliatin orang aja sampai mata kayak mau copot gitu.
Dina cuma tersenyum simpul. Dina itu cewek yang anggun dan cuek. Tinggi, cantik dan jago banget gambarnya. Dina itu salah satu cewek yang masuk jajaran cewek most wanted di sekolah, dia jurusan MM (Multi Media).
Tingkah Echa udah mulai Gaje nih. Kepalanya dimiring-miringin biar bisa liat wajah-wajah lain di sebelah kiri Dina. Echa berhasil liat dan dia tahu 2 anak lain di sebelah Dina.
Tepat di sebelah kiri Dina, nomor 4 dari kanan, ada Tonis. Dia anak jurusan listrik A. Echa sih kenal. Dia dulu tetangga Echa sebelum Echa pindah sewaktu masih SD. Tonis itu anak band. Jadi rada-rada sombong gitu deh. Apalagi Bandnya udah lumayan terkenal di Kota Tuban ini dan sering manggung di kafe-kafe. Dalam Bandnya yang bernama “Alkhemist” itu, dia megang melodi. Jadi gak usah ragu kalo dia jago banget maen gitarnya. Sambil merem pun dia bisa. Tonis sih emang ganteng anaknya. Masuk jajaran cowok most wanted juga, tapi ratingnya masih kalah ma Kuntil. Jujur aja, Echa gak suka ma dia, sombong sih. Di sekolah aja gak pernah nyapa, walopun dulu pernah jadi temen. Jadi, Echa mah sebodo amat ma dia.
Selanjutnya , di sebelah kiri Tonis ada Mae. Kesan pertama bertemu dia adalah cantik dan manis. Mae itu miss fashionista. Pokoknya merhatiin penampilan banget deh. Tapi wajar aja sih, dia kan model. Dia sering jadi wakil sekolah buat lomba-lomba modelling dan gak jarang pula dia jadi pemenangnya. Yang lebih asyik lagi, dia itu juga olahragawati. Dia jadi pemain basket inti di tim basket sekolah. Echa sih gak begitu kenal ma dia. Soalnya Mae itu anak jurusan Kimia dan kelasnya seringkali berjauhan dengan kelas Echa.
Echa mulai miring-miring lagi, mau cari tau siapa-siapa lagi yang dipanggil ma pak kepala sekolah. Tapi . . . . . . . .
BAB 1

Hari senin memang bikin suasana hati jadi gak enak, apalagi buat Echa. Dari tadi bawaannya uring-uringan mulu. Udah dari pagi, sejak nongol dari pintu kelas, wajahnya cemberut gak karuan. Untung manis kalo gak, mungkin udah hancur banget tuh muka. Kelipet-lipet gak jelas gitu. Teman-teman sekelas Echa udah apal banget tabiat Echa -kalo udah masang tampang kayak gitu- mereka lebih milih gak ngusik macan lapar. Gak kan ada deh yang berani deketin Echa dalam radius 3 meter.
Tangan Echa bergerak mengambil sapu. Hari ini dia dapat jatah piket. Echa kayak gak ikhlas banget ngerjainnya. Padahal kalo masalah bersih-bersih rumah, dia jagonya. Kalo seandainya sapu yang dipegang Echa bisa ngomong, mungkin si sapu akan berteriak minta dilepasin dari genggaman Echa dan lebih milih untuk jauh-jauh dari Echa, seperti teman-teman Echa yang lain.
Teman-teman sekelas Echa udah pada dateng semua. Tapi dari tadi yang piket cuma Echa, yang lainnya pada gak tau kemana. Gak keliatan batang hidungnya. Echa tambah uring-uringan, wajahnya jadi merah, tanduknya keluar.
“WOEEEEEE. . . . . . . yang piket ini siapa aja sih?”, Echa berteriak, taring kirinya keluar. “masak dari tadi aku terus yang nyapu”, taring kanannya keluar, ekornya udah mulai tumbuh.
Teman-emannya pada begidik semua. Mereka gak berharap ekor Echa tumbuh sempurna, demi melihatnya murka beneran.
“Ehm . . . aku cha”, suara Edo tiba – tiba terdengar dari pojokan kelas. “maaf ya Cha, aku lupa”, Edo nyengir kuda, dia berjalan dengan cepat menghampiri Echa, segera meraih sapu yang ada di tangan Echa.
Echa buru –buru duduk di bangkunya, mengambil buku kimia dan membacanya. Hari ini jam pertama ada ulangan kimia. Pantesan, dari tadi mukanya ditekuk terus. Teman -temannya mengurut dada, untung Echa gak ngamuk, padahal tadi mereka udah wanti-wanti Echa bakal ngamuk dan marah besar.
5 menit lagi upacara bakal dimulai. Echa tegang banget. Semalam dia gak belajar, malah keasyikan baca komik yang kemarin dia sewa ditempat persewaan buku langganannya. Dia benar-benar berharap berharap kalo menit-menit terakhir belajar kimianya ini masuk ke otaknya. Gak muluk-muluk sih, paling gak dia tau rumus-rumus pentingnya.
Jantung Echa serasa mau copot waktu dengar bel bunyi. Dia gak pengen ikut upacara bendera hari ini, pengen kabur aja dan belajar kimia buat ulangan ntar. Tapi Pak Cip, guru kesiswaan yang disiplin dan super killer itu, udah teriak-teriak nyuruh para murid bergegas ke lapangan upacara. Apa daya, Echa akhirnya ikut upacara juga.
Lapangan sekolah Echa luas banget. Bisa nampung seluruh siswa serta para staf gru dan TU yang jumlahnya lebih dari 450 orang. Sekolahnya pun sangat luas. Dengar- dengar sih paling luas se-jawa timur. Maklum, sekolah kejuruan kan memang butuh tempat yang luas. Apalagi sekolah Echa ini ada 12 jurusan.
Tubuh Echa yang kecil nyempil diantara teman-temannya yang rata-rata bertubuh tinggi dan besar. Echa memilih berbaris di tengah. Lumayan sih, kalo panas kan ada naungan gratis dari teman di depannya. Walaupun sekolah Echa terkenal rindang,tapi karena sekarang sudah kelas 2, Echa beserta murid kelas 2 lainnya kebagian jatah tempat berbaris yang menghadap matahari pagi. Ini untungnya kalo punya tubuh kecil.
Suara pak kepala sekolah yang sedang bepidato ngalor ngidul bikin Echa frustasi. Sedari tadi dia gak mengikuti pidato pak kepala sekolah. Pikirannya sibuk mengejar- ngejar dan menangkapi rumus-rumus kimia yang berseliweran dalam otaknya. Tiba-tiba seseorang menepuk punggungnya dari belakang. Echa tersadar, lamunannya buyar.
Echa menoleh, “apa?”
“Kamu disuruh maju tuh ke tengah lapangan upacara”, kata Suka, teman sekelas Echa sekaligus teman baiknya itu.
Maju ke depan? Gak salah tuh. Memangnya apa yang Echa perbuat hari ini. perasaan hari ini dia gak bikin masalah deh. Cuma neriakin teman-teman sekelas yang harusnya piket. Kan itu gak ada salahnya. Seharusnya kan Echa malah dapat penghargaan karena udah ngelakuin hal itu.
Jantung Echa mencelos, dia berjinjit. Mencoba melihat ke tengah lapangan. Ternyata gak hanya Echa yang disuruh maju, udah ada beberapa anak yang maju ke tengah lapangan.
“SKETSA KAESA”, suara pak kepala sekolah membahana, memanggil nama Echa melalui microphone.
Echa ragu-ragu untuk maju. Dia tegang banget. Takut, urusannya udah sama pak kepala sekolah. Pasti masalahnya udah gawat dan genting banget. Echa udah mikir yang aneh-aneh duluan.
“SKETSA KAESA”, pak kepala sekolah memanggil Echa lagi, beliau terlihat gak sabar. “Dimohon segera maju ke depan.”
“Cha, cepetan maju”, Suka berbisik-bisik terus menggugupi Echa, dia mendorong Echa. Akhirnya dengan terpaksa Echa maju juga.
Echa berjalan pelan-pelan, berharap dirinya salah dengar atau pak kepala sekolah salah baca. Bibirnya komat kamit, membaca doa-doa selamat, mantra tolak bala atau sejenis rapalan benteng diri. Apapun deh, yang penting lepas dari intaian malapetaka yang menurut Echa akan segera menghampirinya saat ini juga
Pangeran Plester & Lady Geje Review

Inspirasi dari Roman -bahasa Jerman dari novel, mulai saat ini kita akan menyebut kata novel dengan "Roman"- ini adalah temen2 SMK ku dulu. :D Sebut saja Kuntil, Jun, Dina, Mae, Tonis dan Echa.
Roman ini adalah Roman remaja. Jadi jalan ceritanya gak akan jauh2 dari topik cinta2 monyet dan persahabatan -yang memang gak akan pernah basi untuk dibicarakan.

Cerita bermula dari pemilihan anggota OSIS di sekolah, di mana ternyata pemilihan anggota OSIS ini merupakan hal yang istimewa di sekolah tersebut dan nama2 yang disebutkan di atas terpilih sebagai anggota OSIS inti.
Echa sebagai tokoh utama memiliki keyakinan bahwa cowok idamannya adalah seseorang yang mengulurkan tangan untuknya ketika dia terjatuh lalu memberinya plester luka. Scene ini memang mirip dengan adegan di manga2. :D Jangan heran, tokoh utamanya ini memang penggemar berat manga. Imajinasinya berlebihan -baca:lebay- dan dia dianugrahi ke-freak-an yang tiada tara diantara teman2nya. XD

Cukup segitu saja ya review-nya. :)

Akankah Echa menemukan cowok idamannya -yang menurut kacamata manusia terkesan aneh- itu?
Penasaran khan?

Baca dan ikuti saja part2 ceritanya nanti.
OK, thanks. Enjoy it. ^0^/
Q pingin ikut KOMPETISI MENULIS “100% ROMAN ASLI INDONESIA yang diselenggarakan gagas media. Hem... tapi naskah belum jadi, baru sampe di halaman 25. IdeQ mandek (-_-;)a
Semangat ada, tapi seperti gak ada gairah. Akhirnya Q putusin buat gak jadi ikut aja dan nulis novel yang belum selesai itu di sini.

Semoga aja ntar kalo novelQ yang berjudul -sementara- "Pangeran Plester & Lady GeJe" ini udah rampung, bakal ada kompetisi serupa. Hwehehehehehe XD *ngarap banget mode : on*

Semangat !!! ^0^/
Q gak akan gagal !!!